Adaptasi Iklim lewat Perempuan Pesisir

Penulis: 

Prof. Dr. rer. nat. Mutiara Rachmat Putri, S.Si., M.Si. 
Kelompok Keahlian Oseanografi Lingkungan dan Terapan, FITB ITB

Sabu Raijua merupakan kabupaten kecil yang dikelilingi lautan. Rumput laut menjadi sumber hidup utama bagi ribuan keluarga pesisir. Namun, badai Seroja pada 2021 merusak bibit rumput laut. Bekerja sama dengan pemerintah setempat, ilmuwan ITB menggerakkan inisiatif pemberdayaan perempuan dalam kebun bibit rumput laut sebagai strategi adaptasi perubahan iklim di Kabupaten Sabu Raijua

Sejak 1990-an, komoditas ini telah menjadi tumpuan ekonomi masyarakat.  Terdapat lebih dari 4.000 rumah tangga membudidayakannya dengan teknologi sederhana, menggunakan sistem patok dasar yang sangat bergantung pada pasang surut dan musim, biasanya tumbuh subur pada bulan April hingga Desember setiap tahunnya. Perempuan, anak-anak, hingga lansia ikut terlibat, terutama para istri yang tekun menyisihkan hasil panen untuk dijadikan bibit.

Sayangnya, terjadi titik balik yang memperparah kerentanan masyarakat pesisir yaitu badai Seroja pada 2021. Cuaca yang makin tak menentu merusak bibit rumput laut, menurunkan hasil panen, dan menyebabkan biaya produksi melonjak tajam. Bibit pun semakin sulit diperoleh, baik karena keterbatasan modal maupun penurunan kualitas bibitnya.

Dalam kondisi ini, banyak petani terpaksa menunda musim tanam—tak hanya karena kesulitan mendapatkan bibit, tetapi juga karena harus menyisihkan dana untuk upacara adat Hole, ritual tahunan masyarakat Sabu Raijua yang digelar sekitar Mei–Juni sebagai wujud syukur kepada leluhur dan alam, dan sering bertepatan dengan musim tanam.

Kondisi ini diperparah karena kapasitas adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim masih tergolong rendah. Rencana Aksi Daerah (RAD) Sabu Raijua tahun 2022 mencatat pentingnya peningkatan literasi laut dan dukungan strategis untuk membangun ketahanan komunitas pesisir.

Tanpa upaya nyata ke arah tersebut, para pembudidaya rumput laut akan terus terjebak dalam siklus krisis yang berulang. Ketahanan terhadap perubahan iklim perlu segera diperkuat agar laut tetap menjadi sumber harapan, bukan ancaman yang mengintai.

Perempuan merespon tantangan

Ketersediaan bibit rumput laut yang sesuai dengan kondisi perairan Sabu Raijua masih menjadi tantangan besar. Bibit yang ada sering kali tidak cocok dengan karakter laut setempat, menyebabkan gagal panen dan kerugian bagi pembudidaya. Keluhan ini disampaikan langsung oleh Kepala Desa Bodae, Sabu Timur, melalui aplikasi Desanesha.

Menanggapi hal tersebut, Institut Teknologi Bandung (ITB) turun tangan melalui program pengabdian masyarakat bertajuk "Pemberdayaan Perempuan dalam Kebun Bibit Rumput Laut sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di Kabupaten Sabu Raijua."

Perempuan Sabu Raijua dikenal tekun dan tangguh, namun selama ini peran mereka dalam pengambilan keputusan usaha budidaya rumput laut masih terbatas. Karena itu, program pengabdian masyarakat hasil kolaborasi ITB dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadikan perempuan sebagai pelaksana utama.

Program ini bertujuan membentuk kelompok usaha kebun bibit rumput laut khusus perempuan, lengkap dengan pendampingan berkelanjutan. Harapannya, perempuan tidak hanya terlibat sebagai pekerja, tetapi juga sebagai pengambil keputusan yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Program ini digagas penulis yang bekerja sama dengan penyuluh perikanan perempuan, Nadya DY Djula. Setelah melakukan identifikasi lokasi dan kebutuhan masyarakat, Desa Bodae di Sabu Timur dipilih sebagai lokasi kegiatan.

Di desa ini, kelompok pembudidaya "Mira Kaddi Hari" dengan ketua kelompok Marselina Kadja Dila, beranggotakan 10 orang perempuan menjadi penggerak utama. Kelompok ini menopang sekitar 50–60 jiwa yang tergantung dengan usaha budidaya rumput laut.

Untuk memastikan keberlanjutan kegiatan, proses pendampingan intensif dilakukan oleh tim ITB bersama penyuluh perikanan setempat. Pendampingan ini mencakup pelatihan teknis budi daya, pengelolaan kebun bibit, pencatatan produksi, hingga penguatan kapasitas kelompok dalam pengambilan keputusan.

Selain itu, tim pendamping juga membantu mengidentifikasi tantangan lapangan dan memberikan solusi adaptif sesuai kondisi lokal, agar kebun bibit tidak hanya bertahan, tetapi berkembang dan mampu mencapai tujuan jangka panjang. Kegiatan difokuskan pada pengembangan kebun bibit rumput laut jenis Sachol (Eucheuma cottonii) yang dikenal lebih tahan dan cocok di perairan Bodae. Bibit sebanyak 1,5 ton didatangkan dari Semau Selatan menggunakan kapal Cantika.

Dengan penanganan yang tepat, bibit tiba dalam kondisi segar dan siap tanam. Meski masih menggunakan teknologi sederhana berupa patok dasar, kebun bibit ini dirancang untuk berkelanjutan—menjadi sumber bibit yang bisa diputar kembali sebagai modal usaha. Jika berhasil, kebun ini tak hanya menopang kelompok, tapi juga berpotensi menjadi pemasok bibit bagi pembudidaya rumput laut lainnya di desa Bodae dan bahkan seluruh wilayah Sabu-Raijua.

Kebun bibit rumput laut memiliki peran strategis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan memastikan ketersediaan bibit yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi lokal, masyarakat tidak lagi bergantung pada pasokan bibit dari luar daerah yang sering kali tidak sesuai.

Kebun bibit menjadi solusi nyata yang tidak hanya menekan biaya produksi, tetapi juga memperkuat kemandirian kelompok dan mengurangi risiko gagal panen. Dalam konteks adaptasi perubahan iklim, keberadaan kebun bibit berfungsi sebagai langkah preventif yang mampu menahan laju kerentanan ekonomi masyarakat pesisir.

Kebun bibit ini juga diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan bibit tahunan bagi seluruh anggota kelompok. Dengan estimasi kebutuhan bibit sekitar Rp 6 juta per pembudidaya per tahun, keberadaan kebun ini dapat menghemat hingga Rp 60 juta per tahun bagi kelompok secara keseluruhan. Penghematan ini sangat berarti, terutama bagi keluarga-keluarga yang sebelumnya harus membeli bibit dari luar dengan kualitas yang belum tentu sesuai.

Selain aspek teknis, keberadaan kebun bibit juga mendorong tumbuhnya solidaritas sosial dan kolaborasi antaranggota kelompok. Aktivitas merawat bibit, membagi hasil, dan merencanakan musim tanam menjadi ruang belajar bersama yang memperkuat kapasitas kolektif dalam menghadapi krisis iklim. Pendampingan yang diberikan oleh tim ITB turut memperkaya pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah dan berkelanjutan.

Ruang hidup dan ruang harapan

Di Sabu Raijua, laut bukan hanya tempat bekerja, laut adalah ruang hidup dan ruang harapan. Di tengah debur ombak dan teriknya matahari, perempuan pembudidaya rumput laut dari berbagai generasi tetap setia menjaga kebun rumput laut mereka. Usia tak menjadi batas. Dari gadis muda hingga nenek berusia lebih dari 70 tahun, semua masih terlibat aktif. Mereka mengikat bibit ke tali dengan tangan yang cekatan, penuh kehati-hatian dan menjadi sebuah keterampilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Budi daya ini bukan tugas satu orang. Ia jadi urusan sekeluarga. Suami, anak-anak, hingga lansia ikut bergotong-royong, menjadikan pengikatan bibit sebagai ritual kebersamaan. Ketika air laut surut, masyarakat Bodae berjalan hingga dua kilometer ke tengah laut. Hanya dalam waktu 3–4 jam sehari, mereka harus bergerak cepat, menanam, merawat, dan memanen rumput laut sebelum air kembali pasang.

Di tengah keterbatasan alat dan cuaca yang kian tak menentu, semangat mereka tak pernah surut. Di tanah yang kering dan laut yang berubah-ubah, mereka tetap menanam harapan. Bagi mereka, rumput laut bukan sekadar sumber penghasilan. Budi daya rumput laut adalah sumber penghidupan yang harus dijaga bersama secara berkelanjutan.

Kebun bibit bukan hanya tempat menumbuhkan bibit baru, tetapi juga tempat menumbuhkan harapan, ketahanan, dan solidaritas. Di situlah masa depan Sabu Raijua dipertaruhkan, di tangan para perempuan tangguh yang tidak menyerah pada badai, di setiap untaian  bibit rumput laut  yang diikatkan dengan penuh harap untuk kehidupan yang lebih baik menghadapi dinamika laut yang penuh perubahan.

Survei Oseanografi dan Pemilihan Bibit

Setelah berinteraksi melalui platform Desanesha, tim ITB berangkat dari Kota Bandung ke Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk melanjutkan perjalanan menyeberang lautan menuju salah satu pulau paling selatan di Indonesia, yaitu Sabu Raijua.

Di Kabupaten Sabu Raijua, tim ITB berkoordinasi dengan Unit Kerja BKKPN Kupang di Sabu Raijua, membahas persiapan pelaksanaan kegiatan kebun bibit rumput laut yang berlokasi di Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur.

Desa Bodae terdiri dari 4 dusun yang sebagiannya belum teraliri listrik. Desa terdiri dari 397 KK dengan catatan 23 KK adalah nelayan yang merangkap dengan petani dan 376 KK (926 jiwa) yang bekerja di budidaya rumput laut.

Setelah memperoleh gambaran mengenai kondisi perairan di Sabu Raijua serta berbagai kegiatan konservasi yang telah dilaksanakan tim melakukan kunjungan lapangan ke Desa Bodae untuk meninjau lokasi kegiatan. Peninjauan difokuskan pada area pengikatan bibit dan kebun penanaman rumput laut yang akan digunakan dalam program pengembangan budi daya.

Survei oseanografi

Keesokan harinya, tim yang terdiri dari dosen, laboran dan mahasiswa S1,S2,S3, melakukan survei oseanografi untuk mengukur kualitas air perairan laut di Desa Bodae menggunakan perahu nelayan setempat. Pengambilan data ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi awal mengenai kondisi lingkungan perairan laut yang akan digunakan dalam budidaya rumput laut.

Sejumlah parameter kualitas air dikumpulkan antara lain klorofil-a, suhu dan salinitas permukaan laut, kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen), pH air laut, serta kedalaman perairan di stasiun pengamatan. Pengamatan dilakukan di delapan titik yang tersebar di sekitar lokasi kebun bibit rumput laut, dengan mempertimbangkan variasi kondisi hidrodinamika dan intensitas aktivitas budidaya.

Pengukuran parameter dilakukan menggunakan alat-alat oseanografi seperti multiparameter water quality meter (WQM merk Lutron) dan alat pengukur kedalaman senter duga. Data yang diperoleh dari survei ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam menentukan kesesuaian lokasi dan menyusun strategi pengelolaan lingkungan yang mendukung keberhasilan budidaya rumput laut di Sabu Raijua.

Pada hari ketiga tim melakukan kegiatan serah terima bibit rumput laut kepada Kelompok Pembudidaya Rumput Laut Di "Mira Kaddi Hari". Kegiatan diawali dengan mendatangkan bibit rumput laut dari Kecamatan Semau Selatan, Kabupaten Kupang dengan jenis rumput laut Sachol (Euchema Cottoni),

Jenis ini dipilih karena lesson learn dari berbagai kegiatan bantuan rumput laut sebelumnya yang menunjukkan bahwa bibit asal Semau Selatan dengan penanganan yang tepat dapat tumbuh dengan baik di perairan Sabu Raijua. Selain itu rumput laut jenis ini memiliki harga jual yang baik dan permintaan pasar yang terus meningkat.

Bibit rumput laut didatangkan melalui Kapal Cantika dengan pengawalan dan penanganan yang sangat teliti sehingga sampai di Desa Bodae dalam keadaan segar dan bermutu baik. Selanjutnya dilakukan kegiatan pengikatan bibit rumput laut oleh kelompok yang melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kelompok baik suami, istri, anak-anak maupun lansia.

Berlomba dengan air pasang

Di tengah keterbatasan akses dan minimnya fasilitas di pulau kecil seperti Sabu Raijua, pilihan mata pencaharian yang pasti untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat terbatas. Namun, perempuan dari berbagai generasi tetap setia menjaga kebun rumput laut mereka. Dari gadis muda hingga nenek berusia 70 tahun, semua terlibat mengikat bibit ke tali dengan tangan-tangan terampil dan penuh ketekunan. Wajah mereka kelihatan penuh semangat, seperti bibit baru yang tumbuh dengan harapan dan energi baru.

Kegiatan memasang bibit pada tali, memasang tali patok dan membentangkannya di pantai, hingga kegiatan perawatan setiap hari selalu dikerjakan bersama oleh seluruh anggota keluarga—suami, anak-anak, hingga para lansia. Mereka bahu-membahu mengikat bibit, menanam, memelihara di laut, dan memanen. Saat laut surut, mereka menapaki perairan hingga dua kilometer jauhnya, bekerja cepat merawat rumput laut dalam waktu terbatas 3–4 jam sebelum air kembali pasang.

Penanaman kebun bibit dilakukan menyesuaikan kondisi pasang surut air laut sehingga baru dapat dilaksanakan pada pukul 15.00 WITA karena sistem budidaya rumput laut masih menggunakan sistem patok dasar.  Dengan adanya kebun bibit mandiri, para pembudidaya bisa menghemat hingga Rp15 juta per musim tanam. Pengeluaran berkurang, keuntungan pun lebih besar. Kebun bibit rumput laut bukan sekadar lahan budidaya, tetapi menjadi simbol ketahanan dan harapan. Di sana, para perempuan menanam lebih dari sekadar bibit; mereka menanam ketangguhan, solidaritas, dan masa depan keluarga.

Di tangan mereka, laut tetap menjadi sahabat yang setia, bukan ancaman yang menakutkan. Inilah wajah adaptasi iklim yang hidup, tetapi dari kaki-kaki yang menapak pasir, tangan-tangan yang mengikat bibit, dan hati-hati yang tak pernah berhenti berharap.

29

views