Kawasan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang rentan terhadap polusi akibat pembuangan sampah yang tidak terkontrol. Tingkat kerusakan lingkungan akibat pembuangan sampah di pesisir laut di Indonesia sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Riset Jambeck et al (2015) menemukan bahwa Indonesia masuk urutan kedua di dunia yang membuang sampah plastik ke laut setelah China dengan volume 3.32 MMT (juta metrik ton)/tahun. BRIN mengingatkan bahwa kerugian pemerintah yang ditimbulkan akibat sampah plastik di perairan Indonesia mencapai Rp 225 trilyun per tahun. Dengan jumlah penduduk terbesar di pesisir setelah China (ibid) yang mayoritas terkonsentrasi di Pulau Jawa, wilayah pesisir pulau ini menjadi sangat rentan terhadap pencemaran laut akibat pembuangan sampah padat dan cair yang dibawa oleh aliran sungai dan perkotaan di sekitarnya.
Di Jawa Barat sendiri, yang merupakan provinsi dengan populasi terpadat di Indonesia, pemandangan menyedihkan di pantai akibat tumpukan sampah baik di utara maupun selatan provinsi ini menjadi keprihatinan banyak pihak dan telah menggerakan elemen masyarakat yang peduli untuk berperan dalam penanganan sampah di kawasan pesisir. Di Kota Cirebon misalnya, sepanjang pesisir merupakan tempat pembuangan akhir sampah, baik yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di pantai tersebut, atau dengan sengaja dibuang oleh individu dengan menggunakan mobil bak atau gerobak sampah. Pantai Kesenden, Kota Cirebon juga dinobatkan sebagai pantai ketiga terkotor di Indonesia. Upaya 5R belum terlaksana secara baik karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kesehatan lingkungan bagi masa depan generasi muda di kawasan ini. Kelurahan Lemahwungkuk di Kota Cirebon merupakan kawasan yang memiliki tingkat stunting tertinggi di Kota Cirebon pada tahun 2022. Selain itu, beberapa upaya terkait seperti urban farming seperti di Kelurahan Lemahwungkuk tidak berjalan dengan baik karena tidak melibatkan kelompok masyarakat secara aktif. Kegiatan yang dilaksanakan bersifat insidental dan tidak menumbuhkan rasa kepemilikan para penerima manfaat. Masyarakat penerima manfaat juga kesulitan untuk memasarkan hasil kegiatan 5R seperti sampah yang sudah dipilah atau hasil urban farming karena tidak terkoneksi dengan pasar baik konvensional maupun digital.
Upaya-upaya insidental penanganan sampah di kawasan pesisir tidak cukup mampu untuk mengatasi persoalan sistemik yang dihadapi dalam pengelolaan sampah perkotaan di sekitarnya. Penanganan sampah mulai dari sumbernya yang terintegrasi dalam skema ekonomi sirkular merupakan prioritas Pemerintah Indonesia sebagai kunci bagi terselesaikannya persoalan dalam pengelolaan sampah dan pencegahan pencemaran di kawasan pesisir. Ekonomi sirkular bersifat regeneratif dan tidak hanya menjawab persoalan pengurangan sampah (zero waste) namun juga menjawab persoalan pemulihan (recovery) dan perbaikan (repair) yang dihadapi lingkungan yang sudah tercemar oleh sampah.
Dalam konteks ini, pada tahun 2024, tim LPPM ITB yang dipimpin oleh Dr Ninik Suhartini, melakukan pengembangan ekonomi sirkular di kawasan pesisir di level masyarakat yang bertujuan untuk akan berdampak signifikan terhadap penanganan sampah di Jawa Barat. Kegiatan ini akan dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif yang melibatkan multi-stakeholders terkait dalam setiap tahapannya yang terdiri atas masyarakat penerima manfaat, ketua wilayah (RT/RW dan Kelurahan), LPM Kelurahan, DPRKP Kota Cirebon dan DKP Kota Cirebon, Forum Kota Sehat Kota Cirebon. Kegiatan ini menerapkan metode integrasi kegiatan fisik dan tata kelola yang telah diterapkan dalam kegiatan sebelumnya (Pengabdian Masyarakat Hibah Tata Kelola Infrastruktur di Kawasan Padat Penduduk Perkotaan di Jawa Barat Tahun 2023) yang berjalan sangat baik dalam menciptakan partisipasi aktif para stakeholder yang terlibat. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat penerima manfaat diperkenalkan dengan prinsip-prinsip tata kelola infrastruktur dasar tingkat kampung seperti air bersih dan air limbah dan keterampilan dasar (praktik lapangan) baik dalam hal perencanaan, monitoring, konstruksi, pembiayaan pengelolaan dan evaluasi. Target lokasi adalah kawasan permukiman informal padat penduduk yang berada di Kelurahan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, yang lebih dikenal dengan Kampung Cangkol. Sebagian lahan di Kampung Cangkol adalah lahan reklamasi dengan menimbun sampah padat di atas laut untuk kemudian dipadatkan dengan tanah/brangkal sebelum dibangun rumah di atasnya. Ekspansi lahan ini sudah mulai berkurang sejak adanya gerakan stop buang sampah di kawasan ini pada tahun 2023. Namun demikian, pencemaran dan kondisi lingkungan di kampung ini masih memprihatinkan. Di sisi lain, berdasarkan hasil observasi tim, masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk dapat memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya.
Tahapan Pengembangan
Kegiatan Cangkol Hijau LPPM ITB 2024 terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut:
Gambar 1. Tahapan Kegiatan Ekonomi Sirkular Cangkol Hijau
Sosialisasi dan Pendidikan
Kegiatan sosialisasi ini melibatkan calon penggerak dari Kelompok Wanita Tani, Karang Taruna, dan Forum Kali Bersih dengan total peserta 30 orang. Pada kegiatan ini telah dijelaskan terkait maksud dan tujuan kegiatan serta sesi konsultasi kepada masyarakat terkait kegiatan tim LPPM ITB, termasuk mengenalkan prinsip sirkular ekonomi dan manfaatnya dalam jangka pendek dan jangka panjang bagi masyarakat Cangkol.
Gambar 2. Kegiatan Sosialisasi
Pendidikan ekonomi sirkular terdiri atas pengolahan sampah plastik menjadi eco-brick, pelatihan membuat sabun lerak, dan urban farming yang dilaksanakan pada bulan Juni 2024. Untuk membuat eco-brick, peserta yang mayoritas adalah ibu rumah tangga diminta untuk membawa sampah plastik yang dihasilkan di rumah baik yang berupa botol maupun plastik lainnya. Terdapat beberapa warga yang ternyata sudah pernah membuat eco-brick tetapi belum terbiasa membuatnya di rumah. Eco-Brick ini akan dikumpulkan disatu titik untuk kemudian digunakan sebagai kursi, meja, atau rumah baca kampung.
Sedangkan untuk pembuatan sabun alami yang dibuat berbahan dasar buah lerak yang merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Pulau Jawa. Buah lerak dikenal memiliki zat saponin yang efektif sebagai surfaktan alami sehingga dapat membersihkan noda dan dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan mengurangi pencemaran baik di tanah maupun air. Pembuatan sabun lerak dibagi menjadi dua tahap yaitu sabun untuk menggantikan zat pembersih untuk digunakan sendiri yang dilaksanakan bulan Juni 2024 pelatihan pembuatan sabun yang bisa digunakan untuk keperluan komersial pada bulan Agustus 2024.
Gambar 3. Pembuatan sabun alami yang dibuat berbahan dasar buah lerak
Sedangkan dalam hal urban farming, pada dasarnya masyarakat Kampung Cangkol, Cirebon, sudah terbiasa menanam tumbuhan di pekarangan rumahnya. Oleh karena itu, kegiatan ini diarahkan untuk mendukung kegiatan pembuatan sabun lerak dengan mengenalkan tanaman lerak dan tanaman lainnya yang digunakan dalam proses pembuatan sabun ini seperti lidah buaya dan sereh yang cocok dengan kondisi tanah dan udara di Kampung Cangkol. Warga dan ketua RW setempat memberikan ijin penggunaan lahan komunal yang terbengkalai di area kegiatan untuk dijadikan kebun ekonomi sirkular warga.
Gambar 4. Kebun komunal Kampung Cangkol
Gambar 5. Tanaman Lerak hasil pembibitan warga
Proses dan Hasil Monitoring
Monitoring kegiatan dilakukan dengan tujuan untuk memantau proses perubahan perilaku dalam kelompok pelatihan dalam mengaplikasikan hasil kegiatan. secara reguler setiap minggu secara langsung di lapangan dan online melalui group sub-kegiatan.
Gambar 6. Progres Perubahan Kebiasaan Pembuatan dan Penggunaan Sabun Lerak
Hasil monitoring menunjukkan beberapa capaian dalam proses rekayasa yang dilakukan, mencakup: kepedulian kelompok penggerak terhadap pentingnya pengurangan dan pengolahan sampah, beralihnya penggunaan bahan polutif sabun ke penggunaan sabun natural lerak dalam sanitasi keluarga dan lingkungan, inisiasi dan pengembangan kegiatan composting dan urban farming oleh anggota kelompok penggerak baik secara individu maupun komunal di kampung Cangkol. Di akhir kegiatan, tim Cangkol Hijau mengembangkan proses ekonomi sirkular dengan kegiatan pencegahan stunting dengan menggunakan lahan kebun untuk kolam lele sebagai salah satu komponen PMT. Tantangan yang dihadapi selama pelaksanaan kegiatan adalah penyesuaian metode komunikasi dalam penyampaian materi dan pelatihan dengan konteks masyarakat setempat supaya mudah diserap dan direplikasi serta menjaga konsistensi minat dan semangat tim dalam praktik individu dan komunal.
What’s next?
Kegiatan Cangkol Hijau telah mendorong inisiatif masyarakat di kawasan pesisir untuk menangani dan mengelola sampah serta hasil olahannya secara mandiri untuk meningkatkan kualitas lingkungan tempat tinggalnya dan juga meningkatkan perekonomian keluarga melalui kegiatan ekonomi lokal yang juga membangun identitas kawasan. Kegiatan ini tidak sekedar menyelesaikan persoalan sampah dan akibat yang ditimbulkan terhadap lingkungan, namun lebih jauh, menjadi kegiatan yang mampu mengatasi isu strategis pembangunan di Jawa Barat yaitu pencegahan stunting dan pengurangan tingkat kemiskinan. Diharapkan pendekatan ini dapat direplikasi di kawasan lain di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa/sama sehingga manfaatnya dapat dirasakan dalam skala yang lebih luas. Dalam jangka panjang, Tim Cangkol Hijau ITB akan berfokus pada pengayaan metode pelatihan serta mengembangkan lebih lanjut proses digitalisasi ekonomi sirkular mandiri di tingkat masyarakat agar dapat diakses dan dimanfaatkan secara luas.