Darurat Pencemaran Mikroplastik di Jawa Barat

Jawa Barat memiliki beberapa sungai panjang yang melewati pemukiman padat penduduk, seperti sungai Citarum (323,03 km), Citanduy (178,40 km), Cisadane (117,00 km), dan lain-lain. Aktivitas antropogenik, baik domestik maupun industri, mengemisikan limbah yang berkontribusi dalam peningkatan zat pencemar di lingkungan termasuk perairan sungai. Zat pencemar seperti mikroplastik kini kelimpahannya meningkat seiring dengan konsumsi plastik yang semakin masif. Mikroplastik merupakan plastik yang berukuran ≥1 μm hingga <5 mm, umumnya mikroplastik berbentuk serpihan, lembaran, serat dan pelet [1]. Gambar 1 menampilkan beberapa bentuk dari mikroplastik yang umum ditemukan.

Gambar 1. Bentuk mikroplastik serpihan, lembaran dan serat [1]

Sampah botol plastik, kantong kresek dan jenis sampah plastik yang dibuang ke sungai dapat terurai melalui proses mekanik, fotodegradasi atau oleh bakteri menghasilkan mikroplastik sekunder. Sedangkan limbah cair domestik dari produk kosmetik seperti pembersih muka dan pasta gigi yang menggunakan microbead menghasilkan mikroplastik primer. Dengan ukurannya yang sangat kecil mikroplastik mudah masuk ke dalam sel hidup, sehingga meningkatkan potensi kerusakan pada sel [2]. Bahayanya lagi, mikroplastik juga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai zat berbahaya, termasuk logam berat, virus, residu pestisida dan hidrokarbon aromatik polisiklik.

Mikroplastik memiliki massa jenis yang rendah, sehingga dapat mengapung di air dan mudah terbawa oleh arus hingga menyebar ke seluruh badan air. Mikroplastik dapat tenggelam dan mengendap dengan sedimen, akibat massa jenis yang meningkat, karena akumulasi biofilm atau interaksinya dengan partikel tanah liat tersuspensi. Mikroplastik yang telah mengendap dengan sedimen, sewaktu-waktu dapat berpindah lagi karena terbawa oleh arus berkecepatan lebih tinggi [3]. Oleh sebab itu, keberadaan mikroplastik tidak hanya di dekat sumber pencemar saja, tetapi pencemaran dapat lebih meluas di perairan. Sejauh mana mikroplastik dapat menyebar dipengaruhi oleh faktor karakteristik (massa jenis) mikroplastik dan kondisi hidrodinamika (kecepatan arus).

Seiring dengan kekhawatiran terhadap ancaman mikroplastik terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Penelitian terkait pemantauan mikroplastik di lingkungan menjadi berkembang pesat di Indonesia. Ulasan ini diharapkan memberikan gambaran mengenai kondisi tingkat pencemaran mikroplastik di perairan sungai Jawa Barat dan juga menjadi refleksi bagi masyarakat dan pemangku kebijakan agar lebih peduli terhadap lingkungan. Dalam ulasan ini, informasi kelimpahan dan karakteristik (bentuk dan jenis polimer) mikroplastik yang terdapat di perairan sungai Citarum, Ciliwung, Cisadane, Citanduy, Cimandiri dan Ciwalengke. Informasi yang diulas berdasarkan data yang bersumber dari beberapa artikel terbitan tahun 2019–2024.

Sungai Citarum yang melintasi daerah Bandung dan Purwakarta hingga bermuara ke Laut Jawa pernah menjadi salah satu sungai tercemar di dunia. Pada tahun 2018, kelimpahan mikroplastik pada air di sungai ini berkisar 0–350 partikel/dm3 (rerata 210±130 partikel/dm3) [4]. Mikroplastik dengan bentuk serpihan, yang berasal dari pecahan botol plastik polipropilena, dominan ditemukan di sepanjang sungai Citarum. Sedangkan air sungai Citarum daerah Koyod, Kabupaten Bandung, teridentifikasi adanya mikroplastik berbentuk serat poliester, yang diduga berasal dari industri tekstil dan benang, mengingat di kawasan ini banyak industri tekstil. Anak sungai citarum akan memiliki kondisi lebih parah, karena pertukaran airnya sangat buruk dengan arus utama. Jenis polimer mikroplastik yang teridentifikasi pada sampel air sungai Citarum adalah 52% polipropilena, 16% polietilena, 12% poliamida, 8% polietilena tereftalat, 8% polistirena dan 4% poliester.

Sungai Ciwalengke salah satu anak sungai Citarum yang terletak di daerah Majalaya. Pada tahun 2017, kelimpahan mikroplastik di sungai ini adalah 5,85 ± 3,28 partikel/L, sementara pada sampel sedimennya sebesar 30,3 ± 15,9 partikel/kg berat kering [5]. Keberadaan mikroplastik berbentuk serat lebih sering ditemukan di air sungai ini, dibandingkan fragmen atau bentuk lainnya. Begitupun dengan dominansi mikroplastik serat yang terkandung dalam sampel sedimen. Kelimpahan mikroplastik pada air maupun sedimen sungai Ciwalengke, daerah Sukamaju memilki jumlah yang tinggi dibanding lokasi lain. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan industri tekstil dan aktivitas cuci pakaian oleh penduduk yang berlangsung di sekitar sungai. Hal ini terbukti dari jenis polimer penyusun mikroplastik tersebut yaitu poliester, katun, dan nilon yang umumnya berasal dari pakaian. 

Selain sungai, waduk Jatiluhur yang terhubung dengan sungai Citarum berlokasi di daerah Purwakarta. Pada tahun 2019, kelimpahan mikroplastik pada air di waduk Jatiluhur berkisar 6,71 x 104 – 4,59 x 105 partikel/km2 [6]. Keberadaan mikroplastik berbentuk serpihan, yang terbentuk dari pecahan botol plastik atau pipa, mendominasi di perairan waduk Jatiluhur. Sedangkan jenis polimer penyusun mikroplastik yang teridentifikasi adalah polietilena (45%) dan polipropilena (55%). Waduk seperti Jatiluhur memiliki potensi untuk menjadi area akumulasi mikroplastik, karena mikroplastik terperangkap dengan perairan yang tenang.

Lalu sungai Cisadane yang melintasi daerah Bogor dan Tangerang hingga bermuara ke Laut Jawa. Pada tahun 2024, kelimpahan mikroplastik di air sungai ini berkisar 1,6–34,4 partikel/m3 (rerata 10,8±10,1 partikel/m3) [7]. Keberadaan mikroplastik berbentuk serpihan dan serat tetap mendominasi di perairan sungai Cisadane juga. Keberadaan mikroplastik pada air dari daerah hulu sungai, Muara Jaya, Bogor dan sekitarnya teridentifikasi memiliki kelimpahan mikroplastik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitar hilir sungai, Teluk Naga, Tangerang. Pencemaran ini diduga berasal dari aktivitas wisata air yang intensif di daerah Bogor.  Mikroplastik berbentuk serat di sungai Cisadane teridentifikasi dari polimer polietilen tereftalat. Serat ini berasal dari industri tekstil, air limbah dari pencucian pakaian, tali pertanian, dan jaring ikan akuakultur. Sedangkan mikroplastik berbentuk fragmen di sungai Cisadane dari polimer polipropilena dan polietilena. Fragmen ini berasal dari barang plastik berukuran besar yang terurai seperti botol minuman, sampah sisa dari stoples, galon, dan potongan pipa.

Sungai Ciliwung yang melintasi daerah Bogor, Depok dan Jakarta hingga bermuara ke Laut Jawa. Pada tahun 2021, kelimpahan mikroplastik di air sungai Ciliwung berkisar 63.378– 69.200 partikel/L. Sedangkan 297.600–316.089 partikel/kg [8]. Keberadaan mikroplastik berbentuk lembaran mendominasi di air sungai Ciliwung, sedangkan bentuk serpihan mendominasi di sedimen. Mikroplastik berbentuk lembaran merupakan hasil degradasi produk plastik seperti kantong plastik dan kemasan makanan, bentuk ini memiliki massa jenis terendah, sehingga akan terapung dalam badan air. Sedangkan bentuk serpihan dan serat dengan massa jenis lebih besar akan terendap dengan sedimen. Aktivitas seperti penangkapan ikan, pencucian pakaian, dan lainnya merupakan sumber mikroplastik berbentuk serat.

Sungai Citanduy yang melintasi daerah Majalengka dan Tasikmalaya hingga bermuara ke samudera hindia. Pada tahun 2019, kelimpahan mikroplastik di sedimen perairan sungai Citanduy berkisar 18,190–70,405 partikel/kg [9]. Faktanya, keberadaan mikroplastik berbentuk serpihan selalu mendominasi di perairan sungai, termasuk sungai Citanduy. Kelimpahan mikroplastik tertinggi berada di stasiun hilir, yaitu di Kabupaten Pangandaran. Kelimpahan yang tinggi di hilir sungai, diasumsikan karena lebih banyak sampah yang dibuang, mengingat pencemaran dapat terjadi akibat aktivitas wisata di Pangandaran. Selain itu, banyak juga anak sungai sepanjang sungai Citanduy yang melintas, sehingga banyak sampah juga yang terbawa arus dan berakhir ke hilir. Sedangkan kelimpahan mikroplastik terendah berada di stasiun tengah, yaitu di Kota Banjar. Hal ini dikarenakan aliran sungainya tidak lebih banyak melintasi pemukiman padat penduduk.

Sungai Cimandiri yang melintasi daerah Cianjur dan Sukabumi hingga bermuara ke samudera hindia. Pada tahun 2020, kelimpahan mikroplastiknya pada air berkisar 96 – 325 partikel/m3. Sedangkan kelimpahan mikroplastik pada sedimen berkisar 600 – 950 partikel/kg [10]. Keberadaan mikroplastik berbentuk serat mendominasi di perairan sungai Cimandiri, yaitu sekitar 73% dari total mikroplastik yang diidentifikasi pada air, dan 67% pada sedimen. Fragmentasi dari jaring ikan yang ditinggalkan atau hilang, tali, dan pakaian kemungkinan merupakan kontributor utama pencemaran mikroplastik berbentuk serat. Kelimpahan mikroplastik yang tinggi di muara sungai Cimandiri, disebabkan karena muara sebagai tempat berlabuh perahu-perahu nelayan dan aktivitas perikanan.

Gambar 2. Kelimpahan mikroplastik pada sampel dari sungai di Jawa Barat

Mikroplastik  ditemukan tersebar luas di berbagai sungai di Jawa Barat dengan tingkat pencemaran yang bervariasi tergantung lokasi dan sumber polutan. Secara umum, mikroplastik didominasi oleh bentuk serpihan dan serat, namun sedikit juga berbentuk film. Pencemaran mikroplastik paling tinggi ditemukan di daerah dengan aktivitas antropogenik yang intensif, seperti kawasan pemukiman dan area industri tekstil. Faktor-faktor seperti curah hujan harian, volume dan frekuensi limbah industri, serta kegiatan domestik seperti cuci pakaian dan pemakaian kantong kresek dan botol sekali pakai menjadi penyumbang utama mikroplastik di sungai-sungai ini. Di samping itu, menariknya ada peran mikroorganisme periphyton yang dapat menjebak mikroplastik, sehingga  menunjukkan adanya potensi sebagai biofilter alami. Melalui ulasan ini, penulis menekankan pentingnya penanganan limbah yang lebih baik dan pengelolaan lingkungan yang terintegrasi untuk mengurangi dampak polusi mikroplastik terhadap ekosistem perairan dan kesehatan masyarakat. Gambar 3. Menampilkan peta sebaran kelimpahan mikroplastik di beberapa sungai Jawa Barat.

Gambar 3. Peta sebaran mikroplastik di beberapa sungai Jawa Barat

Melalui ulasan ini, penulis menekankan pentingnya penanganan limbah yang lebih baik dan pengelolaan lingkungan yang terintegrasi untuk mengurangi dampak polusi mikroplastik terhadap ekosistem perairan dan kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan koordinasi terintegrasi dengan stakeholder yaitu akademisi, pemerintah, masyarakat dan industri. Pembinaan sejak dini di Masyarakat misal masyarakat pesisir perlu juga dibina dalam mengidentifikasi sampah plastik mulai dengan penyuluhan ukuran plastik, praktek pemilahan, dapat membagi tugas dalam memulai memilah sampah plastik dari tingkat desa (karang taruna) sampai sekolah membantu untuk menginformasikan ke masyarakat.
Dari informasi ini, harapannya adalah masyarakat dapat meminimalkan penggunaan bahan plastik sekali pakai dengan beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan. Masyarakat disarankan untuk menggunakan botol minum, sedotan stainless, tempat makan dan tas belanja yang dapat digunakan berkali-kali, hindari barang plastik sekali pakai seperti kantong kresek dan botol minum kemasan. Selain itu, produk kosmetik yang mengandung microbead, sebaiknya tidak dijadikan sebagai prioritas pilihan. Sementara itu, bagi para pemangku kebijakan, antisipasi pencemaran mikroplastik di perairan sungai dapat dilakukan dengan menetapkan regulasi ketat terhadap penggunaan mikroplastik dalam industri terutama kosmetik. Lalu mengefisienkan pengelolaan sampah plastik, mendorong inovasi bahan alternatif yang mudah terurai (biodegradable), serta memberikan edukasi dan kesadaran publik untuk tidak konsumtif dengan barang plastik sekali pakai dan tidak membuang sampah sembarangan.

68

views