Di tepian selatan Pulau Lombok, Desa Montong Ajan berdiri menghadap Samudera Hindia. Di balik keindahan alam pesisirnya, desa ini menyimpan ancaman bahaya gempa bumi dan tsunami yang patut diwaspadai. Letaknya yang berhadapan langsung dengan zona subduksi aktif menjadikan Desa Montong Ajan sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana geologi. Bagi masyarakat desa, risiko ini bukan sekadar data statistik, melainkan ancaman nyata yang bisa datang kapan saja.
Namun, di tengah ketidakpastian itu, ada secercah harapan. Harapan bahwa melalui edukasi dan kolaborasi, risiko bisa dikurangi, korban bisa diminimalisir, dan yang terpenting: masyarakat bisa disiapkan.
Pada 12 Mei 2025, harapan itu mulai ditumbuhkan secara nyata. Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Mataram (UNRAM), Brigham Young University (BYU) dari Utah, Amerika Serikat, dan BMKG Stasiun Geofisika Mataram hadir di Desa Montong Ajan dalam kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Penguatan Kapasitas Masyarakat untuk Mitigasi Gempa dan Tsunami.”
Kegiatan ini bukan sekadar seremonial atau formalitas. Ini adalah bentuk nyata dari kolaborasi lintas institusi yang dirancang dengan pendekatan berbasis komunitas: mengedukasi, melibatkan, dan menguatkan warga dari usia dini hingga dewasa, agar siap menghadapi bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Kolaborasi Lintas Lembaga: Menyatukan Keahlian untuk Satu Tujuan
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi yang telah dirancang dengan tidak hanya membawa latar belakang akademis, tetapi juga mengedepankan pendekatan berbasis komunitas yang bersifat partisipatif. Fokus kegiatan diarahkan pada peningkatan kapasitas warga Desa Montong Ajan, termasuk para siswa-siswi di SDN Torok Aik Belek. Tim yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan terdiri atas akademisi dan praktisi dari berbagai institusi. Dari ITB, hadir Prof. Ir. Sri Widiyantoro, M.Sc., Ph.D., Dr. Ir. Endra Gunawan, S.T., M.Sc., serta Dr. I Gusti Bagus Eddy Sucipta, S.T., M.T. Sementara itu, UNRAM diwakili oleh Syamsuddin, S.Si., M.T. dan BMKG oleh Ricko Kardoso, S.Tr. Turut serta Jared Whitehead, dosen dari BYU, bersama dua mahasiswanya, Nephi dan Ashley hadir dalam kegiatan penguatan kapasitas masyarakat Desa Montong Ajan.
Kehadiran Jared tidak sekadar simbolis. Dalam wawancara, ia menyampaikan, “Saya dosen dari Brigham Young University (BYU), Utah, Amerika Serikat. Saat ini, saya sedang melakukan penelitian di ITB selama beberapa bulan untuk berkolaborasi dalam pemodelan simulasi tsunami yang dipicu oleh gempa bumi, serta untuk turun langsung dalam program peningkatan kesadaran bencananya (untuk masyarakat). Hari ini, kami mengunjungi SDN Torok Aik Belek di Lombok untuk berinteraksi langsung dengan siswa-siswi. Kami mengajarkan langkah-langkah praktis menyelamatkan diri jika gempa terjadi, mulai dari cara berlindung hingga evakuasi.”
Kolaborasi lintas institusi ini menjadi kekuatan utama dalam menyusun materi edukasi yang tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga mudah dipahami oleh masyarakat.
Dari Kelas ke Lapangan: Edukasi Menyentuh Semua Kalangan
Fokus kegiatan hari itu salah satunya adalah SDN Torok Aik Belek, sebuah sekolah dasar di pesisir yang menjadi titik awal penting dalam membentuk generasi tangguh bencana. Siswa-siswi di sekolah ini mendapatkan pemahaman dasar tentang gempa dan tsunami, serta langkah keselamatan yang perlu dilakukan jika bencana terjadi.
Jika ada kelompok yang paling terdampak saat bencana, maka anak-anaklah jawabannya. Mereka belum memiliki kemampuan fisik dan psikologis untuk merespons bencana dengan optimal. Oleh karena itu, membekali mereka sejak dini adalah investasi jangka panjang yang krusial.
“Kami menyampaikan materi tentang gempa bumi dan tsunami kepada adik-adik SD supaya mereka lebih paham tentang fenomena tersebut,” ungkap Prof. Sri. “Karena daerah ini memang terletak di pesisir pantai selatan Lombok.”
Penyuluhan dimulai dengan pemaparan interaktif yang menggugah rasa ingin tahu anak-anak. Mereka diajak bertanya, menjawab, dan berdiskusi tentang hal-hal yang sebelumnya mungkin tidak pernah mereka pikirkan. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan simulasi evakuasi gempa bumi: ketika sirine dibunyikan, para siswa langsung berlindung di bawah meja, menutup kepala, lalu mengevakuasi diri secara tertib menuju titik kumpul.
Ashley dan Nephi dari BYU menyaksikan langsung momen itu dan menyampaikan kesan mereka. “Antusiasme siswa-siswi terlihat sangat tinggi selama kegiatan berlangsung. Seru sekali menyaksikan mereka bersemangat mengikuti setiap sesi. Kegembiraan pun tergambar jelas dari raut wajah peserta didik. Mereka terlihat sangat senang,” kata mereka. “Saat sirine dibunyikan, mereka langsung berkata ‘Okay, apa yang harus kita lakukan sekarang?’, lalu menutup kepala dan bersembunyi di bawah meja. Mereka sangat siap, dan menyenangkan melihatnya.”
Simulasi ini bukan hanya melatih fisik, tetapi juga mental. Anak-anak dilatih untuk tidak panik, mengambil keputusan cepat, dan mendengarkan arahan dari orang dewasa. Hal-hal yang terlihat sederhana, tapi bisa menyelamatkan nyawa.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa edukasi kebencanaan bisa dikemas dengan menyenangkan namun tetap bermakna dan tertanam kuat jika dikemas dengan tepat. Kepala Sekolah SDN Torok Aik Belek, H. Mekar, menyampaikan rasa terima kasihnya. “Kami bersama seluruh guru mengucapkan banyak terima kasih telah memberikan arahan dan antisipasi kepada anak-anak kami. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua,” ujarnya.
Sekolah dan para guru menjadi ujung tombak dalam menyebarkan kembali informasi yang sudah diterima. Mereka tidak hanya menjadi fasilitator saat kegiatan berlangsung, tetapi juga diharapkan menjadi agen edukasi bencana yang berkelanjutan di sekolah.
Hari Libur yang Berarti: Saat Komitmen Mengalahkan Kenyamanan
Menariknya, kegiatan ini dilaksanakan di hari libur. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat siapa pun. Kepala sekolah, guru, hingga warga tetap datang dan aktif berpartisipasi. Syamsuddin dari UNRAM mengatakan, “Kami disambut baik oleh komponen sekolah, guru, kepala sekolah, dan anak-anak meskipun ini hari libur.”
Kehadiran warga dan anak-anak secara sukarela menunjukkan adanya kesadaran yang terus tumbuh. Tidak jarang kegiatan pengabdian masyarakat hanya menjadi acara simbolis, tetapi di Desa Montong Ajan, komitmen semua pihak benar-benar terasa nyata.
Tim yang hadir pun menjalankan tugas dengan penuh dedikasi. Tak hanya menyampaikan materi, mereka memastikan setiap peserta paham betul, bahkan memantau dan turun langsung saat simulasi dilakukan. Semua langkah dilakukan demi memastikan bahwa penyuluhan yang dilakukan akan benar-benar berdampak.
Warga Juga Terlibat: Sosialisasi di Balai Desa
Tidak hanya anak-anak, masyarakat umum juga mendapatkan edukasi yang sama melalui sesi penyuluhan di balai desa. Materi difokuskan pada potensi kegempaan, sistem peringatan dini tsunami, hingga vulkanologi, serta bagaimana warga harus bersikap dalam setiap fase bencana: sebelum, saat, dan sesudah gempa.
Ricko Kardoso dari BMKG menyampaikan, “Saya hadir mewakili Kepala Stasiun Geofisika Mataram untuk memberikan informasi terkait potensi kegempaan dan peringatan dini tsunami di wilayah Lombok Tengah, serta langkah-langkah kesiapsiagaan yang bisa dilakukan.”
Partisipasi warga dalam sosialisasi ini sangat penting karena mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak langsung dari program yang dijalankan. Melalui diskusi yang berjalan dua arah, warga tidak hanya mendengarkan, sesi ini juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk berbagi pandangannya dan berdiskusi terkait kejadian yang berkaitan dengan bencana dan mitigasinya. Keterlibatan aktif warga dalam diskusi menandai keberhasilan metode partisipatif yang diterapkan. Tim kolaborasi dapat menyesuaikan pendekatan dan metode kerja agar lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Misalnya, materi sosialisasi disampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana dan menggunakan contoh sehari-hari agar lebih mudah dipahami oleh semua kalangan, termasuk lansia sehingga memantik topik diskusi yang berkesinambungan langsung dalam sehari-hari.
Selain itu, kehadiran tokoh masyarakat dan perangkat desa semakin memperkuat legitimasi program dan mendorong rasa tanggung jawab bersama. Mereka berperan sebagai fasilitator yang menghubungkan antara tim pengabdian dan warga, sehingga komunikasi berjalan lancar dan hasil yang diharapkan dapat tercapai secara efektif. Dengan keterlibatan aktif warga dalam sosialisasi ini, diharapkan program pengabdian masyarakat dapat berjalan berkelanjutan dan memberikan manfaat nyata bagi Desa Montong Ajan.
Mengubah Ketakutan Menjadi Kesiapsiagaan: Masyarakat sebagai Subjek, Bukan Objek
Dalam banyak kasus kebencanaan, masyarakat kerap kali diposisikan hanya sebagai objek bantuan. Namun pendekatan yang digunakan dalam kegiatan di Desa Montong Ajan jelas berbeda. Para penyuluh dari ITB, UNRAM, BYU, dan BMKG mengedepankan filosofi partisipatif: masyarakat harus menjadi aktor utama dalam proses perlindungan dirinya sendiri.
Pada kegiatan ini masyarakat dilibatkan aktif dalam diskusi, praktik, hingga refleksi. Mereka tidak diposisikan sebagai pihak yang “dibantu”, melainkan sebagai mitra sejajar dalam proses mitigasi risiko bencana.
Dr. Endra Gunawan menjelaskan, “Kegiatan pendampingan masyarakat desa Montong Ajan terhadap bencana gempa dan tsunami pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri. Karenanya, ITB, UNRAM, dan BMKG hadir dengan harapan bersama: masyarakat yang tangguh terhadap bencana.” Pernyataan tersebut menggambarkan esensi dari program ini—mendorong warga agar berdaya, tangguh, dan mampu merespons bencana tanpa hanya mengandalkan bantuan dari luar.
Dari sini, pendekatan yang dimulai dari masyarakat sendiri menjadi pondasi penting bagi keberlanjutan kegiatan. Ketika masyarakat memiliki rasa kepemilikan terhadap prosesnya, maka hasilnya pun akan lebih kuat dan bertahan lama. Bagi masyarakat pesisir seperti Montong Ajan, edukasi kebencanaan bukanlah sebuah pilihan, melainkan kebutuhan.
Poster, Pamflet, dan Langkah Nyata Lainnya
Setelah sesi edukasi dan diskusi, tim juga membagikan poster dan pamflet yang berisi informasi evakuasi dan tips keselamatan. Poster ini dirancang dengan bahasa yang mudah dipahami dan visual yang menarik, sehingga bisa menjangkau berbagai usia dan latar belakang pendidikan. Baik Inovasi sederhana ini efektif dalam kegiatan dengan harapan keberlanjutan.
“Kami dari ITB dan UNRAM membuat pamflet untuk kami sampaikan kepada kepala sekolah dan kepala desa untuk dipasang di sekolah maupun di desa,” ujar Prof. Sri dan Syamsuddin dalam sesi penyerahan poster kepada pihak sekolah dan desa.
Poster ini kemudian ditempel di tempat-tempat strategis seperti ruang kelas dan balai desa. Poster ini bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan sebagai media informasi berkelanjutan yang bisa diakses kapan saja oleh masyarakat. Diharapkan dengan adanya media visual ini, pesan mitigasi tidak berhenti hanya pada satu kali sosialisasi.
Poster dan pamflet ini bukan sekadar alat informasi, tetapi jembatan menuju pembentukan budaya tangguh bencana. Ketika informasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, maka respons masyarakat saat bencana akan lebih refleks dan terarah.
Membangun Desa Siaga Lewat Kolaborasi dan Kesadaran
Kegiatan ini menjadi contoh konkret bagaimana sinergi antara akademisi, instansi pemerintah, dan masyarakat dapat menciptakan sistem mitigasi risiko bencana yang lebih kuat. Dengan pendekatan yang berbasis data, partisipasi lokal, dan edukasi sejak dini, Desa Montong Ajan kini bergerak menuju desa yang lebih siaga terhadap ancaman bencana.
Penguatan kapasitas bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal mengubah pola pikir—dari takut menjadi siap, dari pasif menjadi tangguh. Harapannya, Montong Ajan bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain yang berada di kawasan rawan, bahwa perubahan bisa dimulai dari kemauan untuk belajar, bekerja sama, dan saling peduli.
Para akademisi tidak hanya mentransfer ilmu dari kampus ke masyarakat di desa, tetapi juga mengaitkan teori dengan praktik secara langsung. Penjelasan tentang megathrust, early warning system, hingga vulkanologi disampaikan dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum.
Dr. I Gusti Bagus Eddy Sucipta dari ITB, misalnya, menyampaikan bahwa ancaman gempa dan tsunami di Desa Montong Ajan tidak terlepas dari dinamika proses vulkano-tektonik yang membentuk Nusa Tenggara Barat. Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa aktivitas subduksi lempeng di selatan Lombok tidak hanya memicu gempa tektonik, tetapi juga berinteraksi dengan sistem vulkanik di daratan, seperti Gunung Rinjani yang masih aktif.
“Kita sering fokus pada gempa tektonik, tetapi perlu diingat: material vulkanik dari letusan Rinjani ribuan tahun lalu membentuk lapisan tanah di pesisir Montong Ajan. Tanah vulkanik ini subur, tetapi memiliki porositas tinggi. Saat gempa berkepanjangan, tanah ini rentan mengalami likuifaksi atau amplifikasi getaran,” jelasnya.
Penjelasan ini mengaitkan langsung antara sejarah vulkanik wilayah Lombok dengan kerentanan bencana saat ini. Pak Eddy mencontohkan, abu vulkanik yang terendap di pesisir selatan Lombok selama ribuan tahun membentuk struktur tanah yang tidak stabil.
Dengan menyelipkan perspektif vulkanologi, Dr. I Gusti Bagus Eddy Sucipta mengajak masyarakat memahami bahwa bencana gempa dan tsunami di Lombok adalah hasil interaksi kompleks antara tektonik lempeng dan warisan vulkanik. Edukasi ini tidak hanya menyadarkan warga untuk “lari ke bukit”, tetapi juga mendorong adaptasi infrastruktur yang selaras dengan kondisi geologis unik wilayah mereka.
Selain Dr. I Gusti Bagus Eddy Sucipta, dosen-dosen yang hadir turut serta memberikan penyuluhan dengan berbagai materi yang telah disesuaikan. Syamsuddin, S.Si. dari Universitas Mataram menjelaskan mengenai gempa bumi, dimulai dari apa itu gempa bumi, penyebab, implikasi, hingga proses evakuasi yang dapat dilakukan. Begitu pula halnya dengan Dr. Endra Gunawan dari ITB yang berfokus pada penyuluhan mengenai tsunami yang juga Ia jelaskan dengan media pamflet yang telah disebar kepada masyarakat. Adapun, Ricko Kardoso, S.Tr. dari BMKG Stasiun Geofisika Mataram menyampaikan informasi terkait potensi kegempaan dan peringatan dini tsunami di wilayah kabupaten lombok tengah serta langkah-langkah kesiapsiagaan yang telah dilakukan dan apa saja yang bisa dilakukan sebelum, sesaat, dan sesudah terjadinya gempa bumi dan peringatan dini tsunami kepada masyarakat Desa Montong Ajan.
Pemahaman terhadap berbagai faktor yang berkaitan sangat penting dalam konteks bencana dan upaya mitigasinya. Informasi-informasi ini penting untuk menyadarkan warga bahwa mitigasi tidak berhenti pada langkah penyelamatan diri, tetapi harus menjadi bagian dari budaya hidup berbasis pengetahuan risiko bencana, mulai dari sekolah hingga ruang publik.
Menuju Desa Siaga, Menuju Masa Depan yang Lebih Pasti
Montong Ajan kini punya harapan baru. Dari desa yang sebelumnya rawan dan rentan, mereka kini sedang menuju transformasi menjadi desa siaga bencana. Bukan karena teknologi canggih atau infrastruktur megah, tetapi karena kesadaran, edukasi, dan kerjasama dengan pihak terkait.
Salah satu hasil paling positif dari kegiatan ini adalah tumbuhnya rasa memiliki dari warga terhadap isu kebencanaan. Mereka mulai merasa bahwa mitigasi bukan hanya urusan pemerintah, tapi tanggung jawab bersama.
Dengan pelibatan langsung masyarakat dalam simulasi dan diskusi, warga Montong Ajan bukan hanya menjadi penerima manfaat, tapi juga mitra dalam solusi. Hal ini penting untuk keberlanjutan program mitigasi. Sebab tanpa partisipasi warga, sebaik apapun sistem yang dirancang, akan sulit dijalankan.
Kegiatan ini memberikan dampak nyata yang langsung dirasakan oleh peserta. Anak-anak yang sebelumnya belum memahami langkah-langkah saat bencana kini sudah memiliki gambaran yang jelas. Warga desa pun lebih percaya diri dalam menghadapi kemungkinan terburuk.
“Harapan kami kepada masyarakat desa Montong Ajan adalah selalu bisa berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat dan selalu tangguh menghadapi bencana,” ujar Ricko Kardoso dari BMKG. Harapan ini bukan sekadar kalimat penutup, tapi seruan yang perlu dijawab oleh seluruh warga dengan tindakan nyata.
Langkah kecil ini menjadi pondasi untuk perubahan yang besar. Montong Ajan tidak lagi sekadar menunggu datangnya bantuan ketika bencana datang, tetapi sudah mulai menyiapkan diri secara kolektif untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi. Masyarakat mulai sadar bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kini, para anak-anak di Desa Montong Ajan kenal dengan bencana yang mungkin terjadi di sekitar mereka. Para masyarakat membuka matanya mengenai hal apa saja yang harus dipersiapkan. Masyarakat kini mengetahui apa yang harus dilakukan sebelum, sesaat, dan setelah bencana dapat terjadi.
Desa yang siaga bencana bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus berlangsung. Tapi dengan semangat kolektif yang sudah tumbuh, Montong Ajan menunjukkan bahwa masa depan yang lebih pasti bukan hanya impian, melainkan sesuatu yang sedang mereka bangun bersama, hari demi hari.
Ketika Ilmu, Aksi, dan Kepedulian Menyatu
Kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Montong Ajan bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun hubungan, kepercayaan, dan kapasitas. Dari anak-anak sekolah hingga warga dewasa, semua dilibatkan dan diberikan ruang untuk tumbuh sebagai individu dan komunitas yang siap menghadapi bencana.
Dengan komitmen seperti ini, pengabdian bukan lagi hanya agenda tahunan, melainkan bagian dari gerakan besar membangun Indonesia yang lebih tangguh. Dan Montong Ajan telah membuktikan, bahwa perubahan bisa dimulai dari desa.
Lebih dari sekadar program, kegiatan ini menjadi ruang belajar bersama, tempat di mana ilmu pengetahuan dan kearifan lokal saling mengisi. Mahasiswa tidak hanya datang membawa teori, tetapi juga pulang dengan pelajaran tentang ketangguhan, solidaritas, dan kesederhanaan yang tulus dari masyarakat desa. Sementara warga memperoleh wawasan baru yang aplikatif untuk meningkatkan kesiapsiagaan mereka.
Sinergi antara lembaga, mahasiswa, dan masyarakat ini menjadi contoh bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci keberhasilan pembangunan berbasis komunitas. Jika pendekatan ini terus dilanjutkan dan diperluas, bukan tidak mungkin akan lahir lebih banyak desa-desa tangguh di berbagai pelosok negeri.
Pengabdian ini juga mengajarkan bahwa dampak tidak selalu harus terlihat besar secara instan. Justru, perubahan-perubahan kecil yang terjadi di hati dan pikiran warga itulah yang menjadi benih dari transformasi jangka panjang. Ketika seorang anak kecil tahu cara berlindung saat gempa, atau seorang ayah mulai memetakan risiko di sekitar rumahnya, maka saat itulah masa depan desa mulai berubah.
Akhirnya, pengabdian ini bukan tentang siapa yang mengajar dan siapa yang diajar, melainkan tentang saling belajar dan tumbuh bersama. Karena sejatinya, membangun bangsa dimulai dari menyatukan ilmu, aksi, dan kepedulian—tepat seperti yang telah terjadi di Montong Ajan.
Tim Penulis:
Prof. Ir. Sri Widiyantoro MSc, Ph.D., lPU
Dr. I.r Endra Gunawan, S.T., M.Sc.
Dr. Ir. I Gusti Bagus Eddy Sucipta S.T., M.T.
Video Terkait: Pendampingan Kapasitas Masyarakat untuk Mitigasi Gempa & Tsunami, Montong Ajan, Lombok Tengah, NTB