Latar Belakang dan Permasalahan
Desa Kapitan Meo, salah satu desa di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, menjadikan kemiri sebagai salah satu komoditas utama untuk mendukung perekonomian masyarakatnya. Kemiri-kemiri tersebut berasal dari pohon yang telah tumbuh selama puluhan tahun di sekitar rumah warga. Namun, pengolahan tradisional yang membutuhkan waktu hingga tiga bulan untuk menghasilkan kemiri kering menyebabkan rendahnya efisiensi dan nilai ekonomis dari produk ini.
Sebagian besar kemiri kering dijual dalam bentuk utuh, yang harganya lima hingga enam kali lebih rendah dibandingkan kemiri yang telah dikeluarkan dari cangkangnya. Harga tersebut juga sangat fluktuatif, memperburuk stabilitas ekonomi masyarakat desa. Hal ini diperparah oleh keterbatasan alat untuk memecah kemiri secara massal. Metode tradisional menggunakan batu tidak hanya lambat tetapi juga membutuhkan banyak tenaga, membuat proses ini kurang efektif.
Permohonan Bantuan dan Kolaborasi ITB
Melalui aplikasi Desanesha, Desa Kapitan Meo secara resmi mengajukan permohonan alat pemecah kemiri pada tahun 2024. Mereka berharap alat ini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat sekaligus mengurangi angka urbanisasi generasi muda yang meninggalkan desa. Menanggapi permohonan tersebut, Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRPM) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengirimkan tim pengabdian masyarakat yang dipimpin oleh Dr. Indria Herman dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD). Tim ini juga melibatkan Dr. Sri Raharno (FTMD), Dr. Ramadhani Eka Putra (SITH), dan Dr. Ida Kinasih (UIN Bandung).
Kegiatan ini juga memberikan peluang bagi mahasiswa ITB untuk berpartisipasi dalam program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Dua mahasiswa, Nasrul Ikhwan dan Jeremy Parulian Situmorang, turut terlibat dalam proyek ini.
Tahapan Pelaksanaan
Kegiatan diawali dengan survei ke Desa Kapitan Meo untuk mengumpulkan data terkait jumlah produksi kemiri, karakteristik buah, dan kondisi pertanian di desa tersebut. Berdasarkan data survei, tim melakukan perhitungan teknis untuk menentukan desain mesin yang optimal. Mesin pemecah kemiri dirancang menggunakan prinsip penghancuran dengan memanfaatkan gaya tumbukan buah kemiri pada dinding dalam alat. Mesin ini digerakkan oleh dinamo listrik yang memutar rotor di bagian tengahnya, dengan kapasitas pemecahan hingga 1 ton per jam.
Proses pembuatan mesin berbobot 250 kg ini memakan waktu tiga bulan sebelum akhirnya dikirimkan ke Desa Kapitan Meo. Pengujian awal di kantor desa menunjukkan keberhasilan lebih dari 60% dalam memecahkan kemiri, dengan kegagalan disebabkan oleh tingkat kekeringan buah yang tidak optimal.
Manfaat dan Dampak Bagi Masyarakat
Keberadaan mesin ini memberikan dampak besar bagi masyarakat desa. Selain meningkatkan efisiensi, mesin ini juga meringankan pekerjaan perempuan di desa, yang sebelumnya harus memecah kemiri secara manual. Kini, mereka dapat fokus pada penyortiran hasil pemecahan, memisahkan cangkang dari kacang kemiri.
Kepala Desa Kapitan Meo, Anton Yosef Tuna, mengungkapkan rasa syukurnya atas bantuan ini. Ia berencana mengaktifkan kembali Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mengelola mesin pemecah kemiri sebagai layanan bagi masyarakat Desa Kapitan Meo dan sekitarnya.
Langkah Lanjutan
Pada akhir program, tim pengabdian masyarakat mencatat beberapa poin penting untuk pengembangan lebih lanjut, seperti:
1. Menyusun standar operasional prosedur (SOP) penggunaan alat.
2. Mengembangkan metode pengeringan buah kemiri untuk meningkatkan efisiensi pemecahan.
3. Mengolah hasil pasca panen untuk meningkatkan nilai jual kacang kemiri.
4. Memanfaatkan cangkang kemiri sebagai bahan bakar atau bahan baku untuk kegiatan lain.
Kesimpulan
Program ini menjadi bukti nyata kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas ekonomi desa melalui teknologi tepat guna. Dengan keberadaan alat pemecah kemiri, Desa Kapitan Meo tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi tetapi juga membuka peluang ekonomi yang lebih besar. Harapannya, langkah ini dapat menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia untuk mengadopsi teknologi serupa guna mendukung kemandirian dan keberlanjutan ekonomi lokal.
Berita Terkait:
media-indonews.com: Kemendes dan ITB Bantu Industri Lokal Kemiri di Desa Kapitan Meo, Malaka, Nusa Tenggara Timur