Di era digital saat ini, internet menjadi sesuatu hal yang penting. Berdasarkan data terbaru, pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dalam 10 tahun terakhir misalnya, pengguna internet di Indonesia sudah mengalami peningkatan sebesar 52,07%. Dari tahun 2024 yang baru 17,14%, kini bertambah menjadi 69,21% per tahun 2023. Ini artinya, penggunaan teknologi dan media sosial juga sudah berkembang pesat. Seperti data dari Badan Pusat Statistik, per tahun 2023 disebutkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki telepon seluler mencapai 67,29%. Terhitung 7 dari 10 laki-laki di Indonesia memiliki telepon seluler, lalu 6 dari 10 perempuan memiliki telepon seluler. Dengan banyaknya jumlah pemilik telepon seluler ini, di lain sisi juga berpengaruh terhadap jumlah pengguna media sosial.
Berkembangnya penggunaan teknologi, berimbas pada penggunaan media sosial yang juga mengalami peningkatan. Akan tetapi, di sisi lain kondisi ini bisa memberikan dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama pada generasi muda. Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube serta platform lainnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari generasi muda. Meski ada banyak platform media sosial lainnya, tetapi ketiga media sosial ini yakni TikTok, Instagram, dan YouTube menawarkan konten video pendek yang dirancang untuk menarik perhatian pengguna secara instan. Meski memberikan kemudahan dalam berbagi informasi dan hiburan, penggunaan media sosial yang berlebihan memunculkan tantangan baru, yakni adiksi terhadap platform tersebut.
Dari banyaknya sosial media yang ada, YouTube, TikTok, dan Instagram menjadi yang termasuk memiliki banyak pengguna. YouTube memiliki hingga 139 juta pengguna, TikTok memiliki 127 juta pengguna, dan Instagram memiliki 101 juta pengguna. Dalam satu bulan, masyarakat Indonesia akan menghabiskan waktu selama 38,26 menit untuk menggunakan TikTok. Lalu menghabiskan waktu 31 jam 28 menit menggunakan YouTube. Sedangkan menggunakan Instagram, masyakarat Indonesia akan menggunkannya selama 16 jam 10 menit dalam satu bulan.
Di samping itu, TikTok, Instagram melalui fitur reels, dan YouTube melalui fitur shorts dirancang sedemikian rupa untuk membuat penggunanya betah berlama-lama di platform ini. Fitur algoritma yang canggih dan konten yang sangat bervariasi membuat para pengguna merasa terus ingin menonton dan mencari konten baru tanpa batas. Salah satu hal penting dari sifat ketiga aplikasi ini yaitu dihadirkannya video pendek, yang mana di satu sisi memberikan kontribusi pada popularitas mereka di kalangan audiens lain. Dalam format TikTok misalnya, media sosial ini memungkinkan pengguna untuk membuat dan membagikan video singkat, yang telah menyebabkan adopsi yang cepat di kalangan remaja. Keasyikan ini dalam bermedsos ini sering kali mengarah pada kecanduan, bahkan di kalangan pelajar sekolah menengah pertama (SMP). Dampak adiksi media sosial dapat mengganggu berbagai aktivitas penting dalam kehidupan pelajar, seperti waktu belajar, interaksi sosial yang sehat, dan istirahat yang cukup.
Media Sosial dan Brain Rot (Pembusukan Otak)
Adiksi dari platform media sosial tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku sosial, melainkan juga bisa bedampak pada fungsi otak. Dampak medsos terhadap fungsi otak ini dikenal dengan istilah “brain rot” atau pembusukan otak, salah satu isu yang tengah menjadi perhatian. Brain rot atau pembusukan otak ini tidak merujuk pada kerusakan secara fisik otak, melainkan kerusakan dari segi fungsi karena menurunkan fungsi kognitif seperti hilangnya konsentrasi, kemampuan berpikir kritis, dan menurunnya produktivitas. Brain rot, lebih lanjut, disebutkan dipicu karena konsumsi secara berlebihan terhadap konten daring remeh atau tidak menantang. Istilah ini memang baru populer pada tahun 2024, terlebih karena konten medsos remeh mengalami peningkatan konsumsi signifikan mencapai 230% antara 2023-2024.
Pada mulanya, istilah brain rot ini ditemukan pada tahun 1854 pada buku Henry David Thoreau yang berjudul Walden. Dalam buku tersebut, dilaporkan terkait gaya hidup sederhana di alam, yang mana Thoreau mengkritik kecenderungan masyarakat yang menganggap rendah nilai-nilai kompleks sebagai indikasi dari penurunan umum dalam aspek mental dan intelektual. Di era digital seperti sekarang ini, istilah brain rot memiliki makna baru terutama sejak 2024. Pada era ini, brain rot digunakan untuk menggambarkan penyebab dan akibat dari konten berkualitas rendah yang banyak berseliweran di medsos dan internet. Kini, konsumsi konten remeh atau berkualitas rendah tentang potensi dampak negatifnya tengah menjadi perbincangan serius terlebih terhadap kesehatan mental anak-anak dan remaja.
Bali menjadi salah satu provinsi dengan tingkat penggunaan internet yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2023 persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang mengakses teknologi informasi dan komunikasi di antaranya 83,98% mengunakan telepon seluler, 15,69% menggunakan computer, dan 73,34% mengakses internet. Dari 9 kabupaten/kota yang ada di Bali, Denpasar menjadi daerah dengan persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang mengakses TIK dengan rincian 93% menggunakan telepon seluler, 23,46% menggunakan computer, dan 87,54 mengakses internet.
Sebagai salah satu provinsi dengan tingkat penetrasi internet yang tinggi di Indonesia, juga menghadapi tantangan serupa. Pelajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Bali sangat rentan terhadap pengaruh media sosial, mengingat usia mereka yang berada dalam fase eksplorasi dan pengembangan identitas diri. Literasi tentang bahaya adiksi media sosial dan dampaknya terhadap fungsi otak menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan generasi muda Bali tumbuh dengan pola pikir yang sehat dan produktif. Secara khusus untuk lokasi pengabdian, kami memilih lokasi pelaksanaan pengabdian di SMP Dwijendra. Sekolah yang menjadi sasaran ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain tingkat paparan media sosial di kalangan siswa, dukungan dari pihak sekolah, dan kesiapan fasilitas untuk mendukung pelaksanaan kegiatan.
Menyadari adanya permasalahan ini, kami berinisiatif untuk mengadakan pengabdian masyarakat dengan tema "Literasi Bahaya Adiksi Platform Media Sosial TikTok, Instagram, dan YouTube Serta Dampaknya Terhadap Brain Rot bagi Pelajar SMP di Bali ". Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan kepada pelajar SMP mengenai bahaya kecanduan konten berkualitas rendah di medsos dan dampaknya terhadap brain rot atau pembusukan otak serta cara-cara untuk mengelola penggunaan platform tersebut secara bijak.
Melalui pengabdian ini, kami juga akan memberikan pelatihan tentang bagaimana mengelola waktu dengan bijak, serta teknik untuk meningkatkan konsentrasi dan kedamaian psikologis. Program ini akan melibatkan tenaga pengajar dan pelajar secara aktif melalui sesi interaktif, diskusi, dan simulasi aktivitas yang membantu mereka mengurangi ketergantungan pada TikTok, YouTube, dan Instagram. Kami juga akan mengajak para pelajar untuk melakukan kegiatan di luar ruangan yang bisa menyegarkan pikiran mereka dan memberikan pengalaman langsung tentang manfaat dari detoksifikasi digital.
Berangkat dari hal itu, sebagai upaya untuk membantu agar pelajar terhindar dari brain rot karena adiksi media sosial, tim dari Program Pengabdian pada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) 2024 telah melakukan kegiatan penyuluhan kepada para pelajar SMP Dwijendra terkait bahaya
kecanduan konten berkualitas rendah yang dapat berdampak negatif terhadap otak. Sekaligus juga memberikan pelatihan agar dapat terhindar dari brain rot karena adiksi media sosial. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan ini dipimpin oleh Bapak Dr. Ridwan Fauzi, S.Pd., M.H., Ir. Hendri Syamsudin, M.Sc., Ph.D., dan Hilmi Agni Ruhiyat, M.Psi.
Tahap Pengabdian
Kegiatan ini mengusung konsep penyuluhan edukatif yang melibatkan tidak hanya siswa-siswi sebagai subjek utama, tetapi juga dewan guru sebagai mitra strategis dalam membentuk kebiasaan dan karakter anak didik. Ada sebanyak 45 peserta mengikuti kegiatan ini, terdiri dari perwakilan dari setiap kelas yang juga sekaligus anggota OSIS SMP Dwijendra yang berlangsung di salah satu ruang kelas di sana. Rangkaian kegiatan dibuka secara resmi oleh perwakilan dari kepala sekolah SMP Dwijendra. Pendekatan yang dilakukan tim pengabdian di lapangan yaitu dengan memberikan pendampingan dan pelatihan sebagai bentuk edukasi tim pengabdian kepada tenaga pengajar dan pelajar SMP Dwijendra di Denpasar Bali. Tahap pelaksanaan kegiatan ini dimulai dengan penyampaian terkait bahaya adiksi media sosial, dampak dari adiksi media sosial, penjelasan konsep brain rot dan akibatnya hingga cara penyelesaian masalah tersebut dengan diskusi yang intensif dan pendekatan yang partisipatif.
Lebih lanjut, kegiatan ini berlangsung dua sesi yang disampaikan oleh Ir. Hendri Syamsudin, Ph.D. dan Hilmi Agni Ruhiyat, M.Psi. Pada sesi pertama akan diisi oleh Ir. Hendri Syamsuddin, Ph.D., akademisi ITB yang menyampaikan materi berjudul "Nyalakan Otak: Lawan Brain Rot! Literasi Bahaya Adiktif Media Sosial." Pada sesi ini, siswa diberikan pemahaman terkait bahaya brain rot yang disebabkan oleh adiksi media sosial dan kiat-kiat untuk mengatasinya agar generasi muda mampu memilah informasi dan mengembangkan kebiasaan positif di tengah derasnya arus digital. Juga disampaikan terkait manajemen waktu, serta pentingnya membangun rutinitas harian yang seimbang antara dunia maya dan dunia nyata. Sesi ini memiliki tujuan untuk dapat meningkatkan kesadaran akan pengaruh adiksi media sosial terhadap otak dan karakter.
Sesi kedua yang disampaikan oleh Hilmi Agni Ruhiyat, M.Psi., dosen psikolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang mengulas lebih dalam topik “Literasi Bahaya Adiksi Media Sosial terhadap Brain Rot Siswa dari Perspektif Psikologi.” Pada sesi ini, siswa diberikan pemahaman terkait penggunaan media sosial dan dampaknya terhadap aspek psikologis, terutama perihal kesehatan mental. Dipaparkan juga pada sesi ini terkait sisi negatif dan sisi positif dari internet. Sehingga meskipun internet secara khusus media sosial memberikan dampak adiksi yang memunculkan brain rot, sebenarnya memiliki ruang positif jika digunakan dengan cara yang benar. Sehingga kemudian dijelaskan juga terkait cara agar media sosial ini bisa memberikan digunakan dengan baik alias self-driving.
Self-driving ini merupakan upaya diri yang mengarahakan kita pada segala bentuk upaya: dari mulai berpikir, memutuskan, dan bertindak. Ada empat cara untuk memunculkan self-driving saat menggunakan internet, di antaranya set goal (Merancang tujuan yang hendak diraih), memilih aplikasi sesuai dengan tujuan, mindfulness (Menggunakan internet secara sadar), dan berempati. Sehingga melalui self-driving terhadap internet khususnya media sosial ini dapat menghindari dampak negatif dari media sosial dan mampu menciptakan lingkungan digital yang positif dan suportif.
Sebelum kegiatan ditutup, tim melakukan evaluasi melalui kuesioner yang dikemas secara menyenangkan melalui gamifikasi menggunakan platform Mentimeter. Pada tahapan ini, para siswa yang menjadi peserta kegiatan diberikan pertanyaan dalam dua sesi, masing-masing sesinya diberi sepuluh pertanyaan. Terlihat bahwa sebagian besar para siswa yang mengikuti kegiatan mampu menangkap dengan baik materi-materi yang telah disampaikan sebelumnya oleh Ir. Hendri Syamsudin, Ph.D., dan Hilmi Agni Ruhiyat, M.Psi.