Teknologi Pembuatan Es Balok berbasis Energi Surya untuk Pulau Terpencil

Dr. Ir. Yuli Setyo Indartono, S.T., M.T. 

Kelompok Keahlian Ilmu dan Rekayasa Termal, FTMD ITB

Meski memiliki sumber daya ikan melimpah, nelayan tradisional di Pulau Anambas menghadapi tantangan untuk bisa membawanya dalam kondisi segar ke daratan akibat terbatasnya produksi es balok. Produksi es balok di pulau kecil seperti Anambas juga menghadapi kendala pasokan listrik. Tim ITB mengembangkan desain instalasi produksi es balok sekaligus pasokan listrik yang berkelanjutan dengan energi terbarukan agar ikan segar bisa mendarat di Anambas.

Laut menjadi bagian terbesar kehidupan, mengingat kepulauan yang terdiri atas 238 pulau ini hanya memiliki wilayah daratan mencakup 1,35% dari total luas sekitar 634,96 km². Kabupaten Kepulauan Anambas yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau terkenal dengan potensi perikanannya yang besar dengan total produksi harian mencapai sekitar 14.153 ton.  

Kelimpahan hasil perikanan ini menuntut jaringan distribusi yang efisien untuk menjaga mutu produk. Apalagi, mayoritas penduduk Kepulauan Anambas yang berjumlah lebih dari 49 ribu jiwa ini mengandalkan sektor perikanan sebagai penghidupan mereka.

Masyarakat Kepulauan Anambas yang terbagi dalam 10 kecamatan ini sebagian besar bekerja di sektor perikanan. Nelayan di Siantan (salah satu pulau terbesar di Anambas) dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok berdasarkan praktik penangkapan ikan mereka. 

Kelompok pertama terdiri atas nelayan harian yang melaut dari pukul 07.00 WIB hingga 19.00 WIB. Mereka menggunakan perahu kecil dengan 2–3 orang awak dan biasanya membutuhkan sekitar 35 kg balok es per perjalanan. Kelompok kedua adalah nelayan perjalanan panjang yang menggunakan kapal lebih besar dan melaut secara berkelompok. Mereka sering kali melaut selama 5–14 hari dalam sekali perjalanan, dengan kebutuhan es balok sekitar 1–1,5 ton per kelompok per perjalanan.

Kategori ketiga adalah nelayan dengan metode penangkapan ikan ringan, yang secara lokal dikenal sebagai nelayan bagan. Mereka menggunakan teknik penangkapan tradisional dan umumnya beroperasi pada malam hari. Kelompok ini terutama menargetkan cumi-cumi dan ikan bilih. Ikan-ikan tersebut kemudian diasinkan dan dikeringkan sehingga mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasokan es balok dalam jumlah besar. Kategori terakhir adalah nelayan budi daya (akuakultur) yang tidak memerlukan es balok karena menggunakan ikan bilih sebagai pakan untuk stok ikan yang dibudidayakan.

Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi para nelayan tradisional di Kepulauan Anambas, yakni: berkurangnya ikan di laut, kurangnya alokasi bahan bakar per orang untuk melaut, kehadiran kapal besar asing, dan keterbatasan suplai es balok. 

Kurangnya akses terhadap es balok maupun cold storage sebagai sarana untuk menjaga kualitas ikan kerap membuat nelayan mengurungkan niat untuk berlayar atau tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Akibatnya, nelayan terpaksa sering menjual hasil tangkapan ikan dengan harga murah. 

Fasilitas produksi es balok menjadi sangat krusial. Saat ini terdapat dua pabrik es balok di Anambas—satu milik swasta lokal dan satu milik pemerintah. Kapasitas pabrik swasta hanya untuk konsumsi pemilik dan koleganya, sedangkan pabrik pemerintah mampu memproduksi hingga 20 ton es per hari dengan daya tampung cold storage 100 ton, tetapi hanya beroperasi atas permintaan. Keduanya belum mencukupi kebutuhan nelayan lokal. Berdasarkan diskusi dengan masyarakat dan pemerintah setempat, diusulkan sistem produksi es balok baru dengan kapasitas minimal 5 ton per hari untuk memenuhi kebutuhan nelayan.

Potensi energi terbarukan

Mesin produksi balok es memerlukan sumber energi yang tinggi dan stabil yang dapat menjadi mahal karena tingginya biaya listrik. Energi terbarukan dapat menjadi pilihan yang layak untuk mendukung kegiatan produksi. 

Tim yang dipimpin oleh Yuli Setyo Indartono dan beranggotakan Musfirin (Horizon Teknologi), Andhita Mustikaningtyas (Jurusan Pendidikan Teknik Mesin, UNY) dan M. Aditia Sinurat (FTMD ITB) kemudian melakukan studi kelayakan untuk menganalisis pengembangan sistem mesin pembuat es balok dan sumber energinya yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Analisis ini melibatkan survei lokasi, diskusi dengan para pemangku kepentingan, serta penilaian teknis dan ekonomi. 

Berbagai faktor seperti rasio kinerja, emisi yang dihasilkan, nilai bersih sekarang (NPV), tingkat pengembalian internal (IRR), dan biaya energi yang disetarakan (LCOE) dipertimbangkan untuk mengidentifikasi sistem yang paling layak

Kondisi geomorfologi Kepulauan Anambas menyebabkan tekanan udara rata-rata yang relatif tinggi. Pada tahun 2021, tekanan udara berkisar antara 1.004,0 mb hingga 1.015,3 mb dengan rata-rata kelembapan dan temperatur berkisar antara 47–98% dan 22,2 °C hingga 36,8 °C.  Rata-rata durasi penyinaran matahari selama tahun 2023 adalah 4,8 jam/hari. 

Karakteristik geografis wilayah ini, dengan 98,65% wilayah dikelilingi oleh perairan, turut berkontribusi pada kecepatan angin yang tinggi hingga 17,3 m/s. Berdasarkan data setempat, sumber energi terbarukan yang paling layak untuk dimanfaatkan adalah energi surya dengan teknologi fotovoltaik yang memerlukan lahan minimal untuk instalasi sistemnya.

Mesin pembuat dan penyimpanan es

Desain sistem yang dirancang terdiri atas tiga komponen utama: mesin pembuat es, cold storage, dan sistem fotovoltaik. Lokasi yang diusulkan adalah Desa Temburun di Pulau Siantan, yang dipilih berdasarkan kepemilikan lahan, aksesibilitas dari pulau-pulau lain, dan faktor geomorfologi. Berdasarkan data dari Global Solar Atlas, potensi produktivitas tenaga surya di lokasi ini mencapai 3,660 kWh/kWp per hari, dengan iradiasi horizontal global sebesar 4,564 kWh/m² per hari.

Desain yang dipilih menggunakan mesin pembuat es dengan sistem pendingin langsung (direct cooling) dan kapasitas produksi harian sebesar 5 ton dengan daya listrik 34,5 kW. Mesin ini dikombinasikan dengan tiga unit penyimpanan dingin (cold storage) untuk es dan ikan hasil tangkapan nelayan, masing-masing berkapasitas 5 ton. Jika hasil tangkapan ikan tidak banyak, cold storage yang dioperasikan cukup dua buah saja untuk menghemat energi.

Mesin pendingin langsung ini menggunakan refrigeran dan tidak menggunakan air garam, berbeda dengan pendekatan mesin es balok yang menggunakan air garam (brine water). Desain ini memiliki kemampuan penyimpanan panas (heat capacity) yang sedang, tetapi lebih sederhana dalam pengoperasian dan perawatannya.

Sistem PV 

Simulasi sistem PV dilakukan menggunakan perangkat lunak HOMER dan PVSyst untuk menentukan pasokan energi yang paling layak untuk mengoperasikan mesin pembuat es balok. PVsyst merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk proses perancangan, perhitungan, dan analisis sistem PV. Sementara, HOMER (hybrid optimization of multiple energy resources) adalah perangkat lunak yang digunakan untuk optimasi dari segi biaya produksi energi. 

Simulasi didasarkan pada profil beban konsumsi listrik. Mesin pembuat es memerlukan daya awal sebesar 49 kW (termasuk daya pompa untuk suplai air) dan daya operasional sebesar 34,5 kW. Desain sistem ini mengintegrasikan energi surya sebagai sumber energi terbarukan. Penerapan energi surya diperkirakan dapat mengurangi tagihan listrik dari jaringan hingga 35%.

Dengan mempertimbangkan jam puncak penyinaran matahari (peak solar hours - PSH) lokal sebesar 4 jam dan rasio kinerja panel surya (PV) hingga 80%, kapasitas minimum sistem yang dibutuhkan diperkirakan sekitar 100 kWp.

Disimulasikan tiga opsi desain sistem menggunakan perangkat lunak HOMER untuk menentukan solusi yang paling layak. Mengingat jaringan listrik yang ada tidak cukup stabil, skenario yang disimulasikan mencakup pembangkit listrik tenaga surya on-grid tanpa sistem penyimpanan dan pembangkit listrik hybrid dengan sistem penyimpanan, yaitu:

  1. Koneksi jaringan listrik yang dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
  2. Koneksi jaringan listrik yang dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan sistem cadangan baterai.
  3. Koneksi jaringan listrik yang dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan generator diesel sebagai cadangan.

Dilakukan analisis ekonomi untuk menilai kelayakan usaha es balok, dengan mempertimbangkan tiga skenario sumber energi yang berbeda dan berbagai opsi harga jual. Berdasarkan analisis tersebut, harga jual es balok yang layak berada dalam kisaran Rp500.000,00 hingga Rp600.000,00 per ton jika menggunakan sistem fotovoltaik on-grid atau hibrida dengan baterai. 

Mengingat wilayah ini mengalami pemadaman listrik secara berkala akibat ketidakstabilan jaringan, dan karena mesin pembuat es balok sistem direct cooling memerlukan pasokan listrik yang stabil,  maka skenario 2 (PLTS hybrid dengan baterai) dipilih. Sistem yang paling layak untuk mengoperasikan mesin pembuat es di Kepulauan Anambas adalah sistem fotovoltaik hibrida dengan cadangan baterai. 

Konfigurasi ini mencakup array fotovoltaik sebesar 108,48 kWp, inverter hibrida 100 kW, koneksi ke jaringan listrik, dan sistem penyimpanan baterai sebesar 130 kWh. Sistem ini mampu memasok daya untuk mesin pembuat es sebesar 46,5 kW dan dua hingga tiga unit penyimpanan dingin dengan kapasitas masing-masing 5 ton. Biaya energi tersamaratakan (Levelized Cost of Energy - LCOE) dari sistem ini diperkirakan sebesar Rp1.918,18 per kWh, dengan penetrasi energi terbarukan sekitar 52,1%. LCOE tersebut masih di bawah biaya pembangkitan listrik oleh PLN di Kepualauan Anambas sebesar Rp 1.994,58 per kWh.

Saat ini tim sedang mengusahakan pendanaan dari beberapa instansi untuk mewujudkan harapan Nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas.

32

views