Eka Djunarsjah
Selat Malaka, perairan strategis yang menghubungkan Indonesia, Malaysia, dan Thailand, menghadapi sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Malaysia. Sengketa ini muncul karena perbedaan pandangan, yaitu saat Indonesia mengusulkan batas ZEE yang berbeda dari batas landas kontinen, sedangkan Malaysia menginginkan batas yang sama. Konflik ini memicu insiden penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hukum lainnya. Walaupun sudah dilakukan beberapa kali perundingan antara dua negara, sampai saat ini belum tercapai kesepakatan. Sebagai solusi, metode equitable solution diusulkan dengan modifikasi median line untuk membagi luas laut secara adil, mengacu pada UNCLOS III Pasal 74 Ayat 3. Dari perhitungan luas laut ZEE dari berbagai alternatif, didapatkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut terluas apabila batas ZEE yang digunakan adalah batas yang diusulkan Indonesia, yaitu sebesar 52,99%. Malaysia akan memiliki wilayah laut terluas apabila menggunakan batas ZEE yang diusulkan Malaysia, yaitu batas yang berimpit dengan batas Landas Kontinen 1969, sebesar 61,76% luas laut dari seluruh wilayah laut yang diperebutkan. Alternatif batas hasil perhitungan sama luas menjadi alternatif yang optimal karena membagi luas laut kedua negara secara adil sebesar 46.941,5 km2 untuk masing masing negara.
Mengembangkan pendekatan inovatif dalam penetapan batas ZEE yang dikembangkan dari prinsip equitable solution, guna menciptakan pembagian wilayah laut yang sama luas antara Indonesia dan Malaysia. Melakukan sosialisasi kepada warga sekitar tentang pentingnya keberadaan titik-titik referensi batas ZEE Indonesia-Malaysia di Selat Malaka.
Bagi Pemerintah: Menyediakan solusi untuk menyelesaikan konflik ZEE, sehingga dapat meminimalkan risiko konflik di wilayah Selat Malaka. Bagi Nelayan: Memberikan kepastian wilayah perairan, sehingga aktivitas nelayan dapat dilakukan tanpa ancaman intervensi asing. Bagi Komunitas Internasional: Menjadi referensi dalam penyelesaian konflik batas laut secara adil dan inovatif, sesuai dengan hukum internasional.